Mendidik Anak dengan Cinta, Ala Rosululloh
Ustadz Aris Munandar, M.Pi
Mendidik Anak dengan Cinta
عن عائشة رضي الله عنها ،
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « تخيروا لنطفكم فانكحوا الأكفاء وأنكحوا
إليهم »
Dari
Aisyah, Rasulullah bersabda, “Pilihlah tempat terbaik untuk sperma kalian.
Nikahilah wanita yang sekufu dan nikahkanlah anak perempuan kalian dengan
laki-laki yang sekufu dengannya” (HR Hakim dalam al Mustadrak dan beliau
mengatakan, ‘Ini adalah hadits yang sanadnya shahih).
Sekelumit tentang
cinta
لا تحد المحبة بحد أوضح منها فالحدود
لا تزيدها إلا خفاء وجفاء فحدها وجودها ولا توصف المحبة بوصف أظهر من المحبة
“Tidak ada definisi cinta yang lebih jelas
dibandingkan cinta itu sendiri. Definisi cinta itu hanya membuat pengertian
cinta itu tidak jelas. Jadi definisi cinta adalah cinta itu sendiri. Tidak ada
deskripsi tentang cinta yang lebih gamblang dibandingkan cinta itu sendiri”
(Madarij as Salikin 3/11).
ووضعوا لمعناها حرفين مناسبين للمسمى
غاية المناسبة الحاء التي هي من أقصى الحلق والباء الشفوية التي هي نهايته فللحاء
الابتداء وللباء الانتهاء وهذا شأن المحبة وتعلقها بالمحبوب فإن ابتداءها منه
وانتهاءها إليه
“Dalam bahasa Arab kata
kata cinta atau hubbun itu terdiri dari dua huruf yang memang pas untuk
menggambarkan cinta. Huruf ha’ itu makhrajnya adalah ujung tenggorokan.
Sedangkan makhroj ba’ itu di bibir dan bibir adalah akhir makhraj huruf
hijaiah. Huruf ha’ makhrojnya terletak di awal makhroj. Sedangkan bibir adalah
akhir makhroj. Demikianlah cinta dan kaitannya dengan pihak yang dicintai.
Cinta itu berawal dari yang mencintai dan berakhir kembali kepada yang pihak
dicintai” (Madarij as Salikin 3/12).
وأعطوا الحب
حركة الضم التي هي أشد الحركات وأقواها مطابقة لشدة حركة مسماه وقوتها وأعطوا الحب
وهو المحبوب حركة الكسر لخفتها عن الضمة وخفة المحبوب وخفة ذكره على قلوبهم
وألسنتهم
“Dalam
bahasa arab huruf pertama hubb yang berarti cinta diberi harokat dhommah yang
merupakan harokat yang paling berat dan paling kuat sama persis dengan berat
dan kuatnya cinta. Sedangkan orang yang dicintai dalam bahasa arab disebut
hibbun, huruf ha’ diberi harokat kasroh. Hal ini dikarenakan harokat kasroh
lebih ringan untuk diucapkan oleh lidah dibandingkan harokat dhommah.
Demikianlah pihak yang dicintai itu ringan untuk disebut dengan hati dan lidah”
(Madarij as Salikin 3/12).
Kekuatan
Cinta
فبالمحبة
وللمحبة وجدت الأرض والسموات وعليها فطرت المخلوقات ولها تحركت الأفلاك الدائرات
وبها وصلت الحركات إلى غاياتها واتصلت بداياتها بنهاياتها وبها ظفرت النفوس
بمطالبها وحصلت على نيل مآربها وتخلصت من معاطبها واتخذت إلى ربها سبيلا وكان لها
دون غيره مأمولا وسولا وبها نالت الحياة الطيبة وذاقت طعم الإيمان لمن رضيت بالله
ربا وبالإسلام دينا وبمحمد رسولا
“Dengan
sebab dan karena cinta terdapat langit dan bumi. Semua makhluk memiliki fitrah
cinta. Karena cinta bergeraklah segala benda langit mengikuti garis edarnya
masing masing. Dengan cintalah segala gerak sampai kepada tujuannya sehingga
awal gerakan terhubung dengan akhir gerakan. Dengan cinta manusia berhasil
mewujudkan cita-citanya, mendapatkan kebutuhannya dan selamat dari sebab-sebab
kebinasaannya serta dengan cinta seorang itu mau bersusah payah meniti jalan
menuju ridho rabbnya. Karena cinta tanpa yang lain tempat
menggantungkan harapan. Karena cinta seorang itu berhasil meraih hidup bahagia
dan merasakan nikmatnya iman bagi siapa saja yang ridho Allah sebagai rabbnya,
Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai rasulnya” (Raudhoh al Muhibbin hal.
4).
Dampak dan Bukti Cinta
Diantara ungkapan
mengenai bukti dan konsekuensi cinta
خوف ترك
الحرمة مع إقامة الخدمة
“Khawatir
tidak memuliakan diiringi terus menerus memberikan pelayanan sebagaimana
semestinya”
استقلال
الكثير من نفسك واستكثار القليل من حبيبك
Ungkapan
lain mengatakan, “Menganggap sedikit banyak hal yang telah dilakukan untuk
orang yang dicintai dan menganggap banyak hal remeh yang didapatkan dari orang
yang dicintai”
استكثار
القليل من جنايتك واستقلال الكثير من طاعتك
Ungkapan
lain mengatakan, “Menganggap besar ketika sedikit mengecewakan orang yang
dicintai dan menganggap sedikit ketika mampu banyak mengabulkan permintaan
orang yang dicintai” (Madarij Salikin 3/13-14).
Penanggung
jawab pendidikan anak
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ - رضى الله عنه - أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ
بَيْتِهِ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ
بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah bersabda, “Seorang bapak
adalah pemimpin terhadap isteri dan anak-anaknya dan dia akan dimintai
pertanggungjawaban tentang ‘rakyat’ yang dia pimpin. Seorang ibu adalah
pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anak suaminya dan dia akan dimintai
pertanggungjawaban mengenai tugasnya tersebut” [HR Bukhari dan Muslim].
Ibnu Utsaimin mengatakan,
“Diantara hal yang menunjukkan betapa urgen peran wanita dalam memperbaiki
masyarakat adalah tumbuhnya generasi pada awal pertumbuhannya ada dalam
pangkuan wanita (baca: ibu). Hal ini menunjukkan urgensi kewajiban wanita dalam
perbaikan masyarakat” (Daur Mar’ah fi Ishlah al Mujtama’ hal 6).
Beliau juga mengatakan,
“Hendaknya seorang muslimah itu pandai dalam mendidik anak-anaknya karena
anak-anaknya adalah laki-laki dan wanita di masa depan. Di awal pertumbuhannya
mereka, anak-anak ini, berjumpa dengan ibunya.... Oleh karena itu wajib bagi
para ibu untuk perhatian dengan anak-anaknya dan perhatian dengan
pendidikannya. Jika si ibu tidak bisa mengendalikan anak-anaknya dia bisa minta
bantuan kepada ayah dari anak-anak tersebut atau walinya jika ayah dari
anak-anak tersebut sudah meninggal dunia. Wali anak-anak tersebut adalah
saudara dari suami, paman, keponakan dan seterusnya dari seterusnya” (Daur al
Mar’ah hal. 25-26).
Namun hal ini bukan berarti meniadakan peran penting seorang
bapak dalam pendidikan anak-anaknya karena dia bertanggung jawab untuk
memimpin, mendidik dan mengarahkan isteri dan anaknya sekaligus.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman
jagalah diri (termasuk di dalamnya anak) dan isterimu dari neraka yang bahan
bakunya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahrim: 6).
قَالَ الْكِيَا: فَعَلَيْنَا تَعْلِيمُ
أَوْلَادِنَا وَأَهْلِينَا الدِّينَ وَالْخَيْرَ، وَمَا لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ
مِنَ الْأَدَبِ. وَهُوَ قَوْلُهُ تَعَالَى: وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ
وَاصْطَبِرْ عَلَيْها [طه: 132].
Al-Kiya mengatakan,
“Kewajiban ayah untuk mengajarkan agama dan kebaikan kepada anak dan isterinya
dan adab-adab yang diperlukan oleh setiap orang, QS Thoha: 132 (Tafsir Thabari
terkait QS at-Tahrim: 6).
Ketika terjadi
perceraian dalam mazhab Syafii terdapat ketentuan sebagai berikut, “Jika anak
laki-laki memilih untuk tinggal bersama ibunya maka anak tersebut bersama
ibunya saat malam hari dan bersama ayahnya saat siang hari agar si ayah
berkesempatan untuk mengajari anaknya berbagai hal masalah agama atau pun
masalah dunia. Namun jika anak perempuan memilih tinggal bersama ibunya maka
siang malam anak tersebut di rumah ibunya dan ayah berkewajiban untuk mengunjunginya
secara periodik” (Ta’liq Majid Hamawi untuk Matan Taqrib hal 265).
Pada
dasarnya kebutuhan ilmu agama yang diperlukan seorang wanita wajib dipenuhi
oleh suaminya sehingga seorang suami adalah suami sekaligus guru ngaji bagi
isterinya karena diantara hak seorang isteri sebagaimana yang ditegaskan oleh
Syaikh Muhammad Umar Nawawi al Bantani adalah “mengajari isteri ilmu agama yang
menjadi kebutuhannya yaitu hukum seputar ibadah yang wajib ataupun yang sunnah
meski tidak tergolong sunnah muakkad atau yang ditekankan, demikian pula hukum
seputar darah haid” (Uqud Lijain hal 3).
Di tempat
yang lain beliau mengatakan, “Diantara kewajiban suami adalah mengajari
isterinya permasalahan agama dia dibutuhkan oleh isteri semisal hukum seputar
bersuci seperti tata cara mandi setelah haid selesai, mandi junub, wudhu dan
tayamum. Demikian pula suami berkewajiban mengajari isteri hukum-hukum seputar
haid dan berbagai hal mengenai ibadah yang wajib ataupun ibadah yang sunnah,
tentang shalat, zakat, puasa dan haji” (Syarh Uqud Lijain hal. 6).
Walhasil, seorang
ibu adalah guru pertama bagi anak-anaknya dan ayah adalah kepala sekolah yang
berkewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan guru, siswa dan sekolah.
Mendidik sesuai
dengan umur
- Umur
0 sampai tamyiz
Anak dalam usia ini kata para ulama tidak memiliki kemampuan untuk
membedakan tamrah dengan jamrah, korma dengan bara apai. Anak dalam fase usia
ini tidak diperintahkan untuk melakukan apapun namun jika dia memiliki
kemampuan untuk menghafal atau lainnya maka orang tua perlu mendukungnya.
- Setelah
tamyiz
Diperintah dengan motivasi (targhib) tanpa ditakut-takuti
(tarhib), tanpa dipukul tanpa cacian. Dalam usia ini hendaknya diberi
iming-iming dan motivasi dengan akherat bukan dengan dunia atau dunia yang
dikaitkan dengan Allah semisal “jika engkau rajin mengaji maka moga Allah
memberikan hidayah kepada ayahmu untuk bisa mengajakmu jalan-jalan”.
Di usia ini orang tua berkewajiban untuk mengingatkan dan
memerintahkan anaknya untuk mengerjakan sholat. Jika dia tidak melakukannya
anak tersebut tidak berdosa namun orang tua yang tidak mengajak dan
mengingatkan anaknya untuk mengerjakan sholat pada usia ini berdosa.
- 10
tahun sampai baligh
Usia ini adalah fase pendidikan dengan metode menakut nakuti
semisal dengan neraka. Dengan pula pada usia orang tua boleh memberikan hukuman
fisik kepada anak yang tidak mau ketika diperintahkan untuk mengerjakan sholat.
Demikianlah gambaran
pola pendidikan anak yang sesuai dengan sunnah Nabi sebagaimana penjelasan
Syaikh Sulaiman ar Ruhaili dalam link berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:عَلِّقُوا
السَّوْطَ حَيْثُ يَرَاهُ أَهْلُ الْبَيْتِ، فَإِنَّهُ لَهُمْ أَدَبٌ.
Dari
Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda, “Gantungkanlah cambuk di tempat yang bisa
dilihat oleh semua anggota keluarga karena hal tersebut adalah bentuk
pendidikan untuk mereka” (HR Thabarani dalam Mu’jam Kabir dan dinilai hasan
oleh al Haitsami dalam Majmauz Zawaid).
عَنْ عَمْرِو
بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- « مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ
وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ
فِى الْمَضَاجِعِ ».
Dari
Abdullah bin Amr bin al Ash, Rasulullah bersabda, “Perintahkan anakmu untuk
mengerjakan sholat saat mereka berusia tujuh tahun. Pukullah karena melalaikan
sholat ketika mereka berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka”
(HR Abu Daud).
Pemisahan saat usia
sepuluh tahun ini mencakupa dua hal:
Pertama, untuk anak
laki-laki dan perempuan pemisahan kasur dan kamar tidur.
Kedua, sedangkan
untuk sesama anak laki-laki pemisahan kasur saja meski berada dalam kamar tidur
yang sama.
Rincian semisal ini
disampaikan oleh Syaikh Sulaiman ar Ruhaili sebagaimana dalam link berikut: https://youtu.be/We91m3rzVc
Thanks for reading & sharing Rumah Dunia Maya
0 komentar:
Posting Komentar